, ,

satu tahun tanpanya


23 Juli 2021 -
sekitar jam 4 pagi.

—————————

aku ingat dengan jelas malam itu, 
adikku menggedor pintu kamar, menangis, bertanya sambil terisak, 
“Kak Via, ibu kenapa?”

aku bangun secepat mungkin, berlari ke ruang tengah, 
merasakan deg deg-an dengan kecemasan yang sangat hebat bahwa aku harus menghadapi rasa takutku yang paling nomor satu: kehilangan seorang ibu.

di sana aku mendapati ibuku berbaring, tidak bergerak. 
aku coba melakukan CPR--walau aku tidak tahu bagaimana caranya--mencoba membuat nafas buatan, apapun yang aku bisa lakukan, demi setitik harapan untuk mengulur waktu.

tidak pernah rasanya aku merasakan kecemasan, ketakutan, dan panik yang sangat hebat, 
hingga saat itu.

aku mencoba menelfon 119 untuk meminta bantuan ambulance, 
entah harus berapa kali menelepon karena selalu susah tersambung. 
sekalipun tersambung, tetap tidak ada yang mengangkat disebrang sana. 

entah setelah percobaan yang berpuluh kali, akhirnya panggilan disebrang sana ada yang mengangkat. 
tapi semua pun sia-sia, karena saat aku bilang "aku butuh ambulance",
petugas disebrang sana dengan tidak sigap bertanya "ambulance untuk apa?”
aku jawab, "ibu saya tidak bernafas. saya butuh ambulance untuk ke rumah sakit",

betapa kaget dan tidak percayanya aku, 
petugas itu malah menjawab, "kalau sudah ga bernafas panggilnya mobil jenazah bukan ambulance".

tidak pernah saya merasakan sakit hati yang sungguh hebatnya, 
hingga saat itu.

diriku yang biasanya pasti sudah memaki. 
tapi tidak saat itu—ingin marah, ingin teriak, tapi aku tidak punya tenaga karena pikiran yang kalang kabut bercampur takut.
lemas, meminta bantuan disini kok sulit sekali. 

tak ada semenit untuk memproses, aku berseru dengan paniknya, "ambulancenya ga bisa, ayo bawa ibu ke rumah sakit langsung aja!" 
tanpa sadar, ternyata sedang hujan lebat di luar.

ayah sibuk memanggil tetangga, adik-adik menelepon saudara.
ingin rasanya kami membawa ibu ke rumah sakit, tetapi bingung bagaimana, 
karena keadaan sedang hujan, tidak bisa panggil ambulance, dan rumah berada di gang (harus jalan dulu ke depan gang untuk bisa ke mobil).

aku masih cemas, tidak memedulikan sekitar dan masih memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa membawa ibu ke rumah sakit. 
hingga tanteku akhirnya bersuara, “udah Via, ibu udah ngga ada”.

tidak pernah rasanya aku merasakan benar-benar hancur, 
hingga saat itu.

tiba tiba terbayang di otakku puluhan skenario “jika saja”. 
namun tiada daya, selain hanya bisa pasrah menghadapi keadaan. 
tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain merelakan.

tak pernah menyangka bahwa aku harus menghadapi hal yang paling menakutkan untukku secepat ini.

—————————

aku dan ibu bukan seperti sahabat dekat untuk tempat curhat, 
tapi satu hal yang membuatku tenang dirumah adalah mengetahui ibuku ada di kamar atau di luar. 
tidak perlu bercerita, hanya dengan sekedar cukup tahu keberadaannya.

kapan pun aku sedang berada jauh tidak di rumah, 
satu hal yang membuatku tenang adalah mengetahui aku bisa menelfon ibu kapan saja.
 tidak perlu lama berbicara, hanya sekedar cukup tahu aku masih bisa mendengar suaranya.

aku jarang memeluk dan mengucapkan betapa aku menyayanginya, 
tapi salah tiga hal yang membuat ku bahagia adalah, 
saat aku bisa memberi hadiah, membelanjakan, & merias wajahnya sebelum dirinya pergi kondangan.

—————————

aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara, perempuan semua. 
keadaan dan tanggung jawab sebagai kakak pertama membuat aku layaknya “ayah versi perempuan”. 
hal ini juga yang mungkin menyebabkan aku beberapa kali berselisih dengan beliau, 
karena sifatku yang keras kepala.

dari dulu, aku sangat menantikan saat menjelang pernikahan, 
karena aku tahu disaat itulah aku bisa mengeratkan hubunganku dengan Ibu. 
tapi sepertinya Tuhan belum mengizinkan itu, karena ibu lebih dibutuhkan disisi-Nya.

aku bisa apa selain mengalah pada Yang Maha Kuasa?

—————————

aku pikir diriku sudah terbiasa, 
namun mengingat kenangan bersamanya sedikit saja ternyata masih membuatku menitikkan air mata. 

ini perjalanan yang sungguh tidak mudah, 
butuh berbulan bulan untuk benar-benar menerima. 
hingga akhirnya aku bisa mengatakan,

aku merelakan kepergiannya.

namun apabila boleh meminta, sebagai hadiah ikhlasku,
aku berharap untuk bisa bertemu dengan Ibu dan memeluknya lagi,
menyampaikan apa yang belum sempat aku ceritakan, diakhir nanti.

—————————

Ibuku pergi setahun lalu, 
hari Jumat, 23 Juli 2021.

Hari baik, karena beliau orang baik, dan tepat sesaat sebelum adzan subuh berkumandang.

رَّبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
Summa Illa Arwahi Khususon Ummi Asma Rosni binti Ali Nur,
Al Fatihah.

0 Comments:

Post a Comment